Makepung Balinese Grand Prix, Bali Indonesia.


Makepung, Grand Prix-nya Orang Bali

Foto dan Teks oleh Barry Kusuma

Kalau Madura punya Kerapan Sapi, maka Bali memiliki Makepung. Dua tradisi yang serupa tapi tak sama, namun menjadi tontonan unik yang segar sekaligus menghibur.

Makepung yang dalam bahasa Indonesia berarti berkejar-kejaran, adalah tradisi berupa lomba pacu kerbau yang telah lama melekat pada masyarakat Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana. Tradisi ini awalnya hanyalah permainan para petani yang dilakukan di sela-sela kegiatan membajak sawah di musim panen. Kala itu, mereka saling beradu cepat dengan memacu kerbau yang dikaitkan pada sebuah gerobak dan dikendalikan oleh seorang joki.

Makin lama, kegiatan yang semula iseng itu pun berkembang dan makin diminati banyak kalangan. Kini, Makepung telah menjadi salah satu atraksi budaya yang paling menarik dan banyak ditonton oleh wisatawan termasuk para turis asing. Tak hanya itu, lomba pacu kerbau inipun telah menjadi agenda tahunan wisata di Bali dan dikelola secara profesional.

Sekarang ini, Makepung tidak hanya diikuti oleh kalangan petani saja. Para pegawai dan pengusaha dari kota pun banyak yang menjadi peserta maupun supporter. Apalagi, dalam sebuah pertarungan besar, Gubernur Cup misalnya, peserta Makepung yang hadir bisa mencapai sekitar 300 pasang kerbau atau bahkan lebih. Suasana pun menjadi sangat meriah dengan hadirnya para pemusik jegog (gamelan khas Bali yang terbuat dari bambu) untuk menyemarakkan suasana lomba.

Ketika mulai dilombakan pada tahun 1970-an, aturan dan kelengkapan dalam Makepung ikut mengalami beberapa perubahan. Misalnya, kerbau yang tadinya hanya seekor, sekarang menjadi sepasang. Kemudian, cikar atau gerobak untuk joki yang dulunya berukuran besar, kini diganti dengan yang lebih kecil. Kerbau peserta Makepung, sekarang juga lebih ‘modis’ dengan adanya berbagai macam hiasan berupa mahkota yang dipasang di kepala kerbau dan bendera hijau atau merah di masing-masing cikar. Sementara, arena Makepung berupa track tanah berbentuk ‘U’, sepanjang 1 - 2 km.

Berbeda dengan Kerapan Sapi Madura ataupun event yang bersifat race lainnya, Makepung mempunyai aturan yang sedikit unik. Pemenang lomba ini bukan hanya ditentukan dari siapa atau pasangan kerbau mana yang berhasil mencapai garis finish pertama kali saja, akan tetapi ditentukan juga dari jarak antar peserta yang sedang bertanding. Artinya, seorang peserta akan dianggap sebagai pemenang bila ia menjadi yang terdepan saat mencapai finish dan mampu menjaga jarak dengan peserta di belakangnya, sejauh 10 m.

Namun, bila pasangan kerbau yang berada di belakang bisa mempersempit jarak dengan peserta di depannya, menjadi kurang dari 10 m, maka pasangan kerbau yang di belakang itulah yang akan keluar sebagai pemenang. Perlombaan diselesaikan dalam hitungan delapan sampai sepuluh menit dalam setiap race-nya.

Penggemar dan peserta Makepung di Jembrana terbagi menjadi dua kelompok yang dikenal dengan nama Blok Barat dan Blok Timur. Pembagian blok ini berdasarkan aliran Sungai Ijo Gading yang membelah ibukota Kabupaten Jembrana. Kedua blok akan bertemu dalam perlombaan resmi setiap dua minggu sekali. Dan, masing-masing blok mempunyai sirkuit sendiri yang kerap digunakan sebagai lokasi berlatih ataupun lomba yang bersifat resmi.

Hal unik yang membuat Makepung menjadi sebuah tontonan yang seru dan menarik, adalah ekspresi seorang joki yang berada di atas cikar dan sedang memberi semangat pada kedua kerbaunya dengan meneriakkan yel-yel daerahnya masing-masing. Sang joki memecut kerbau dengan sebuah tongkat selama berpacu di atas track selebar 2 m ini untuk bisa mencapai kecepatan maksimal. Beberapa joki juga menggunakan tongkat khusus di mana terdapat paku-paku kecil yang menempel pada tongkat tersebut. Maka, tak mengherankan bila kerbau yang digunakan berdarah-darah setelah mengikuti lomba ini.

Yang menambah serunya Makepung, dalam setiap lomba hampir selalu ada joki yang gagal mengendalikan kerbaunya. Hal ini kerap terjadi saat ada peserta yang akan menyalip peserta lainnya. Dan, saat kerbau lepas kendali, ia pun akan keluar lintasan dan akhirnya terperosok ke petakan sawah ataupun terbalik. Penonton pun bersorak-sorai…

Photo & Text by Barry Kusuma

Add FB : http://www.facebook.com/barrykusuma

Add Twitter : @barrykusuma

Tabuik Sumatera Barat

Tabuik
Foto dan teks oleh Barry Kusuma

Peristiwa pembantaian Hussain, cucu Nabi Muhammad di Padang Karbala, oleh pasukan Yazid bin Muawiyah dari dinasti Ummayah, menorehkan guratan sejarah yang mendalam bagi umat muslim di dunia. Di Pariaman, Sumatera Barat, peristiwa ini diperingati dengan melaksanakan sebuah upacara, Tabuik.

Berasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.


Simbol Rasa Duka

Konon, Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke Pariaman, sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW itu. Karena kemeriahan dan keunikan dalam setiap pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian memasukkan upacara Tabuik dalam agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.

Dua minggu menjelang pelaksan

aan upacara Tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta aneka penganan, kue-kue khas dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang menjalankan ritual khusus, yakni puasa.

Selain sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda yang menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah dua buah dan terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang berbadan kuda, berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. Oleh umat

Islam, binatang ini disebut Buraq dan dianggap sebagai binatang gaib. Di punggung Tabuik, dibuat sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik kemudian dihiasi dengan warna merah dan warna lainnya dan akan di arak nantinya.

Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, keramaian sudah terasa di seantero Kota Pariaman. Seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di alun-alun kota. Para warga lainnya berkerumun di tepi jalan untuk menyaksikan jalannya kirab Tabuik. Tak hanya warga biasa, para pejabat pemerintahan pun turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.

Tepat pada waktunya, Tabuik mulai diangkat dan karnaval pun dimulai. Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat mu

sik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Selama arak-arakan berlangsung, seluruh peserta karnaval meneriakkan, “Hayya Hussain… Hayya Hussain!!!” sebagai ungkapan hormat kepada cucu Nabi Muhammad SAW tersebut. Sesekali, arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.

Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis arakannya.


Bila dibandingkan dengan upacara Tabuik yang digelar sepuluh tahun lalu, upacara Tabuik yang ada sekarang memang berbeda. Kala itu, Tabuik dibuat oleh dua kelompok warga dari kubu yang berbeda dan kemudian diadu satu sama lain. Dalam prosesnya, tak jarang diikuti pula dengan baku hantam para warga dari kedua kubu tersebut.

Atraksi Budaya Unik

Kini, unsur kekerasan yang tadinya terdapat pada Tabuik itu telah dihilangkan. Upacara ini lebih diarahkan kepada sebuah atraksi budaya yang menarik dan dapat dikonsumsi oleh para wisatawan. Selain menyaksikan prosesi upacara Tabuik, para wisatawan dapat berkeliling di pasar tradisional dan bazaar yang digelar seiring dengan perayaan ini. Nikmati juga salaluk dan rakik maco, makanan khas Pariaman yang banyak dijajakan di pinggir pantai. Sayangnya, sampai kini, pelaksanaan upacara Tabuik belum digarap secara maksimal. Masih ada sejumlah kendala yang muncul dalam pelaksanaannya, terutama dalam hal pendanaan.

Perayaan Tabuik tahun ini yang jatuh pada bulan Februari lalu misalnya. Acara ini nyaris gagal dilaksanakan. Pemda setempat bahkan sempat mengumumkan lewat media massa rencana pembatalan tersebut. Namun, berkat kesungguhan warga Pariaman untuk menggelar acara ini, Tabuik pun akhirnya dapat digelar dan dapat dinikmati oleh seluruh pengunjung.

Photo & Text by Barry Kusuma

Add FB : http://www.facebook.com/barrykusuma

Add Twitter : @barrykusuma